(Diangkat dari Peristiwa Perang Aceh,Tak Ingin Bidadari...)
Akan kuceritakan kepadamu sebuah riwayat penuh pesona, tentang cinta.
Ketika itu Pelabuhan Ulee Lheu bersemu emas senja. Matahari dihisap lautan dan kian menghilang. Pelabuhan yang ramai di Banda Aceh itu mulai ditinggalkan orang-orang yang kelelahan bekerja seharian. Semenjak zaman Sultan Iskandar Muda pelabuhan itu sudah menjadi tempat berniaga orang-orang dari banyak negara. Hingga hari itu, di abad ke-19, saat bencana terus merayap, perlahan tapi pasti, hendak menghancurleburkan tanah Aceh.
Di Pantai Ceureumen, tak jauh dari pelabuhan, duduklah dua orang pemuda yang bernama Syarif dan Husin. Sore itu keringat bercucuran di sekujur tubuh mereka sebagaimana biasa, sebab mereka adalah kuli di pelabuhan yang ramai itu. Butiran pasir pantai mengusap-usap hidup mereka yang getir.
Mereka miskin, yatim piatu, sebatang kara, namun itu semua tak kuasa mengusir senyum dari wajah mereka, dan hidup mengalir dengan kesyukuran untuk semua yang telah dianugerahkan Tuhan. Angin membelai wajah mereka yang masih muda, yang teguh tegar dipukul nasib. Dan melepas penat dalam senja di Pantai Ceureumen menjadi kekayaan teragung bagi mereka, yang lebih berharga dari harta sepenuh dunia.
Lihatlah itu, Husin, telunjuk Syarif teracung, menunjuk kepada sesuatu di tengah lautan.
Kapal-kapal Belanda itu sudah tiga hari mengapung di situ. Tak bergerak sama sekali. Apa yang sebenarnya mereka mau?
Memang agak aneh juga, sahut Husin. Matanya menatap kepada bendera tiga warna Belanda yang berkibar di tiang kapal itu. Tapi biarkan sajalah, yang penting mereka tidak mengganggu kita.
Dari kabar-kabar yang kudengar ada utusan Belanda yang menghadap Sultan. Hendak membuat perjanjian.
Aku rasa tentang persoalan perbatasan dengan wilayah-wilayah di selatan yang kabarnya sudah banyak yang berada di bawah penguasaan Belanda.
Mereka seenaknya saja mencaplok wilayah-wilayah Aceh.
Semoga semuanya baik-baik saja, Husin menatap wajah sahabatnya lalu tersenyum. Bagaimana perasaanmu? Pernikahanmu tak lama lagi!
Ah, tak tahulah, Husin, sahut Syarif. Ia tersenyum tipis. Matanya tetap kepada kapal-kapal Belanda yang teguh itu. Semua perasaan campur aduk menjadi satu.
Tapi kau senang kaaan? Husin tersenyum lebar, ia menyikut bahu Syarif. Saking senangnya aku melihatmu bekerja keras seperti orang gila. Bisa-bisa remuk tangan dan kakimu itu memanggul peti-peti lada kalau tak beristirahat.
Aku harus melakukan itu, aku ingin membahagiakan istriku kelak. Aku ingin mencukupinya.
Husin tersenyum bahagia, larut dalam kebahagiaan sahabatnya. Selepas kau menikah nanti, aku akan pindah. Kau berbahagialah berdua dengan istrimu.
Syarif terkejut mendengar kata-kata sahabatnya, ia menatap heran kepada Husin. Apa yang kau bilang itu? Kau saudaraku, kita tetap akan bersama apapun yang terjadi. Dengan aku menikah bukan berarti kau harus pergi.
Aku hanya ingin kau bahagia, Husin masih tersenyum, Kau pasti ingin berdua saja dengan istrimu.
Aku tak bahagia kalau kau pergi, Syarif melotot kepada Husin. Dan jangan pernah bicara begitu lagi.
Husin menunduk dan terus tersenyum. Terima kasih banyak. Kau selalu menolongku semenjak kita bertemu tiga tahun yang lalu. Dan angan-angannya mengembara saat Syarif menolongnya dari serangan seekor harimau yang berhasil melukai kakinya. Syarif merawatnya, dan sejak itu ia tinggal di gubug Syarif di kampung Lampadang [1
]. Ketika itulah persahabatan mereka dimulai.
Aku ini sebatang kara. Tapi kemudian Allah memberiku saudara. Tak akan aku biarkan sesuatu yang buruk menimpa saudaraku itu. Kau telah menyelamatkan aku dari kesendirian. Terima kasih banyak.
Hei, maukah kau menolongku sekali lagi? Husin berseri-seri. Ia mencolek pinggang Syarif.
Apa?
Carikanlah aku seorang istri. Aku juga ingin beristri sepertimu.
Hahahaha Tenang saja, nanti Jamilah akan mencarikannya untukmu.
***
Pada sore yang sama di sisi lain Pantai Ceureumen berdirilah seorang perempuan muda seorang diri. Jamilah, nama perempuan itu. Pandangan matanya melayang menatap teguh kapal-kapal Belanda di lautan. Angin halus menelisik kain kerudung lusuhnya yang rapuh diterjang nasib. Ia sendirian di dunia ini, tak punya siapa-siapa lagi. Untuk hidupnya ia menjual kayu bakar di Pelabuhan Ulee Lheu.
Sebuah gubug peninggalan orang tuanya di Lampadang menjadi tempatnya bernaung. Ketika itu angan-angannya melambung ke angkasa, kepada cinta. Ia bersyukur kepada Tuhan sebab telah menganugerahinya jodoh seorang pemuda yang baik hati, giat bekerja, dan taat beragama. Dan ia sungguh-sungguh mencintai pemuda itu. Pemuda yang tak lama lagi akan menikahinya, Syarif.
Malam merayap sudah. Mengambang memayungi tanah Aceh. Gelap hitam berbayang-bayang, namun indah rupawan. Dan kedamaian jadi udara yang dihirup semua orang. Malam itu agak berbeda. Para lelaki di Lampadang ramai berkumpul di sebuah lapangan di hadapan meunasah [2
]. Tangan-tangan mereka menggenggam obor yang kobaran apinya meliuk-liuk gemulai. Malam itulah semua orang akan mengetahui apakah kedamaian masih akan bertahan di tanah Aceh.
Teuku Nanta Seutia [3
], uleebalang [4
] Enam Mukim [5
], berwajah muram saja malam itu. Ia duduk di punggung kudanya, menatap wajah-wajah keras rakyatnya yang menunggu. Sebab kabar yang dibawanya lebih hitam dari kematian.
Assalamualaikum, ia memulai dalam suara gemetar, dan semua orang bergumam menjawabnya. Aku menyerukan kepada saudara-saudara untuk mempersiapkan diri. Tadi pagi utusan Belanda datang menghadap Sultan, menyampaikan sepucuk surat, dan telah nyata di dalam surat itu, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Sebab Aceh tidak mau memenuhi apa yang mereka pinta.
Dengungan-dengungan tiba-tiba menyeruak dari kerumunan orang-orang Lampadang itu. Mereka tenggelam dalam keterkejutan yang mematikan. Jantung-jantung berdetak lebih cepat, napas naik ke tenggorokan. Mereka saling bicara satu sama lain tentang berita dari Teuku Nanta.
Teuku Nanta mengangkat tangan kanannya penuh wibawa. Dalam sekejap keributan itu mereda, semua orang kembali memerhatikan Teuku Nanta. Mengapa kita menolak? Sebab kaum penjajah hendak merampas Aceh. Hendak merampas negeri kita. Hendak merampas kemerdekaan kita. Hendak merampok harta benda tanah kita. Mereka hendak menjajah.
Teuku Nanta mencabut rencong [6
] yang tersemat di perutnya. Ia mengacungkannya tinggi menusuk langit malam. Allah dan RasulNya memerintahkan kita untuk melawan sekuat tenaga apabila kaum penjajah datang hendak merampas tanah kita. Mereka telah menyatakan perang, dan kewajiban kitalah untuk mengobarkan Perang Sabil [7
] demi melawan mereka. Jangan ragu! Jangan takut! Bagi orang-orang yang ikhlas berjuang Allah akan menghadiahinya surga. Yang di muka pintunya berdiri bidadari-bidadari, mereka menunggu suami dari Perang Sabil.
ALLAAAAAHU AKBAR, Teuku Nanta memekik.
Dan takbir berkumandang merobek malam. Berhamburan ia dari mulut orang-orang yang teguh yang detik itu juga telah menggadaikan nyawa mereka demi membela negeri, memenuhi amanah Tuhan mereka untuk melawan penjajah.
Pulanglah! Persiapkanlah diri dan senjata!. Besok subuh datanglah ke Pantai Ceureumen, sebab Belanda akan menyerbu dari sana. Sesungguhnya Allah bersama kita. ALLAAAAAHU AKBAR. Dan gegap gempita memenuhi malam.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk dan kerumunan orang-orang Lampadang itu Syarif mengernyit menatap Teuku Nanta. Mulutnya tak mau berkata apa-apa. Husin hanya menekur saja. Mereka terkejut alang-kepalang, ternyata kapal-kapal Belanda yang mengapung di mulut Pantai Ceureumen membawa kabar perang. Tiba-tiba Syarif menepuk bahu Husin dan berbisik kepadanya.
Mari pergi.
Mereka berdua melangkah cepat, batang obor getir mereka genggam, nyala apinya menerangi langkah mereka.
Antarkan aku ke rumah Jamilah, kata Syarif. Husin mengangg